Ketika Pendidikan Mengabaikan Unsur Spasial Geografis: Generasi Tanpa Arah

Di sebuah kelas sekolah menengah di kota besar, seorang guru bertanya kepada murid-muridnya, “Siapa yang tahu di mana letak perbatasan Indonesia dengan Malaysia?”
Beberapa murid menebak, beberapa tersenyum bingung, dan sebagian lainnya justru bertanya balik, “Bukannya di Jakarta juga ada kantor kedutaan Malaysia, Bu?”

Terdengar lucu, mungkin. Tapi itulah cerminan dari satu masalah serius dalam dunia pendidikan kita: kita lupa mengajarkan ‘di mana’ segala sesuatu berada.


Ketika Arah dan Letak Tak Lagi Penting

Dalam kurikulum yang padat dan kompetisi pendidikan yang berorientasi angka, aspek spasial-geografis sering kali dianggap sebagai pelengkap, bukan fondasi. Akibatnya, kita mendidik generasi yang mungkin tahu tentang teori perubahan iklim, tapi tak tahu bahwa wilayah pesisir kampung halamannya sudah terancam tenggelam. Mereka mungkin tahu nama-nama suku di Indonesia, tapi tak paham bagaimana bentang alam membentuk keragaman budaya tersebut.

Padahal tanpa pengetahuan spasial, kita buta akan konteks.


Lemahnya Wawasan Kebangsaan karena Ketidaktahuan Geospasial

Wawasan kebangsaan bukan hanya tentang mencintai negeri—tapi memahami negeri ini dengan utuh.
Tanpa pengetahuan spasial:

  • Anak-anak bangsa tak tahu di mana letak tambang emas kita, sehingga mudah tertipu narasi bahwa “kita tidak punya apa-apa.”
  • Tak sadar bahwa kekayaan laut Indonesia mencakup hampir 2/3 wilayah negara, karena yang mereka lihat hanya peta datar di dinding kelas.
  • Tak memahami bahwa di balik ribuan pulau tersebar budaya, bahasa, dan kearifan lokal yang tidak bisa disamaratakan.

Maka tak heran, mudah bagi bangsa ini untuk dipecah belah—karena tak tahu batas, tak tahu harta, dan tak tahu saudara.


Pendidikan Spasial Adalah Pendidikan yang Membumi

Pendidikan yang mengabaikan unsur spasial adalah pendidikan yang membuat anak-anak hanya hafal angka—tanpa makna.
Padahal, jika sejak dini mereka dikenalkan:

  • Cara membaca peta dan paham skala,
  • Mengenal sungai, gunung, hutan, dan pemukiman di sekitarnya,
  • Mengamati pola pembangunan, arah mata angin, atau jejak bencana…

…maka mereka akan lebih dekat dengan bumi tempat mereka berpijak.


Bayangkan Ini: Generasi yang Paham Letak dan Makna

Bayangkan jika seorang anak di Nusa Tenggara tahu bahwa angin timur membawa musim kering ke desanya, dan ia paham mengatur tanamannya.
Bayangkan jika remaja di Papua paham bahwa jalur logistik ke daerahnya mahal karena medan geografis yang menantang, dan ia termotivasi untuk menciptakan inovasi lokal.

Bayangkan generasi yang bukan hanya cinta tanah air, tapi tahu benar tanahnya seperti apa.


Membangun Bangsa Dimulai dari Membangun Peta dalam Pikiran

Tidak semua harus jadi ahli geografi. Tapi semua warga negara perlu memiliki kesadaran spasial—karena hidup mereka tak lepas dari ruang dan tempat.

Pendidikan spasial bukan hanya soal peta. Ia adalah tentang kesadaran akan lingkungan, pemahaman tentang koneksi antarwilayah, dan kemampuan membaca tanda-tanda alam dan sosial dari ruang yang mereka huni.


Arah Masa Depan, Dimulai dari Mengetahui ‘Di Mana’

Kita tak bisa menjaga apa yang tak kita kenal.
Kita tak bisa mencintai apa yang tak kita pahami.
Dan kita tak bisa bergerak ke masa depan, kalau kita tak tahu kita sedang berdiri di mana.

Jadi, ketika pendidikan mengabaikan unsur spasial geografis, sesungguhnya kita sedang membesarkan generasi yang tak tahu ke mana harus melangkah.

Tinggalkan komentar